Rabu, 19 September 2012

"Jangan Hilangkan Sejarah Asli Titik Pertempuran Pahlawan Seribu”
Kawasan Serpong makin berkembang pesat seiring dengan lonjakan pertumbuhan bisnis di daerah ini. Daerah yang semula kebon karet kini menjadi daerah elit. Puluhan tempat hiburan, mal, pusat keramaian bermunculan di Serpong. Bangunan sejarah yang merupakan nafas masa lalu kian terhembus oleh derap laju pembangunan yang kini makin marak.

Mereka para pelaku sejarah yang dulunya merupakan bagian dari sejarah seyogyanya dikenang oleh para generasi yang akan datang. Masyarakat Serpong khususnya, bisa berbangga karena daerah ini pernah menjadi salah satu bagian sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Situs-situs sejarah yang kini tersisa tinggallah Makam Pahlawan Seribu, Monumen Lengkong, dan beberapa bangunan peninggalan Belanda. Hasil penelusuran yang dilakukan oleh reporter SerpongKita.com melalui nara sumber dan pelaku sejarah di kawasan ini berhasil menemui salah seorang pelaku sejarah yang masih hidup yaitu Pak Mahadi bin Bantoet (90), bapak dari 15 orang anak.

Pelaku Sejarah

Perang ada dan akhirnya dicatat sebagai sebuah peristiwa bersejarah oleh masyarakat. Dengan mata yang tidak berfungsi dengan normal dan jalan yang tertatih-tatih Pak Mahadi masih terkenang dengan kuat masa-masa ketika pertempuran seribu terjadi. Pak Mahadi, kelahiran 20 Februari 1917 yang sehari-hari akrab dipanggil Pak Oyot, mulai menuturkan kisahnya saat ia berusia sekitar 30 th. Saat itu, ia menjadi "komicho" yang dulunya merupakan sistem aparat desa bentukan Jepang atau setingkat RT saat ini.

Para laskar rakyat yang datang menyerbu merupakan para laskar yang berasal dari Banten ketika itu. Mereka yang datang dari dari daerah Maja mencapai ribuan orang yang dipimpin oleh seorang Kyai. Ketika itu rakyat yang berjumlah ribuan berhadapan secara langsung dengan para tentara Belanda.

Menurut Pak Oyot, saat itu pihak Belanda mengajak berdamai dengan rakyat yang menyerbu markas karena rakyat yang bersenjata golok dan bambu dipandang sebelah mata oleh pasukan belanda yang bersenjata canggih kala itu. Namun, saat sedang berlangsung pembicaraan ada tentara Belanda yang dibacok. Hingga akhirnya, pertempuran pun meletus. Dengan bermodal keberanian dan senjata genggam rakyat mulai menyerang. Sambil meneriakkan “Allahu Akbar” mereka menghunus golok dan bambu runcing.

Pertempuran yang terjadi pada tanggal 26 Mei 1946 berlangsung selama 12 jam. Korban yang jatuh ketika itu, menurut penuturan Pak Oyot yang juga merupakan salah seorang yang ikut memakamkan mereka ke dalam tiga lobang berjumlah 147. Ia mengatakan dua lubang makam masing-masing diisi 50 jenazah dan yang satunya berjumlah 47 orang. Namun, di tempat berbeda ditemukan 3 jenazah lagi yang kemudian dimakamkan secara terpisah. Bersama dengan rekannya seorang amil desa Cilenggang yang sudah wafat, ia memandikan dan mengubur jenazah-jenazah tersebut ke liang lahat.

Mungkin kini hanya tinggal Pak Oyot yang menjadi saksi hidup peristiwa tersebut. Ketika itu Pak Oyot secara langsung menyaksikan dan memakamkan para jenazah pertempuran tersebut. Selain itu kisah pertempuran dengan tentara Belanda tersebut, ia juga menuturkan pertempuran yang terjadi dengan Jepang di daerah Lengkong. Menurut Pak Oyot, di daerah Lengkong merupakan gudang senjata tentara Jepang. Namun, para taruna yang ketika itu dipimpin oleh Mayor Daan Mogot, mencoba merebut gudang senjata tersebut. Hingga akhirnya meletuslah peristiwa Lengkong. Pada awalnya pasukan Jepang ketika itu tidak mau menyerahkan gudang senjata tersebut. Namun semangat pemuda yang sangat berani akhirnya menguasai gudang senjata tersebut hingga meletuslah peristiwa Lengkong.

Sebelumnya ketika masa pemerintahan Jepang, Pak Oyot mengaku sempat menjadi pekerja paksa di Lengkong sebagai tukang besi di gudang senjata.

Berikut ini adalah kutipan wawancara yang dilakukan oleh reporter SerpongKita.com dengan Pak Mahadi bin Bantoet alias Pak Oyot:

Kapan Anda mengalami masa perjuangan Serpong?

Ketika terjadi peristiwa pertempuran tersebut sekitar bulan mei 1946, saya berusia sekitar 30 thn. Masa pemerintahan ketika itu masih kawedanan dan saat itu merupakan masa transisi kekuasaan Nasional yang diproklamirkan oleh Bung Karno ketika itu.

Saya menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri ribuan orang mendatangi Vedbak (Pos-pos MP) yang ada di PTPN dulu.

Apa yang Anda ketahui tentang peristiwa Pertempuran Seribu yang terjadi ?

Saya menyaksikan dari rumah, ribuan orang berduyun-duyun dengan berjalan kaki menghampiri Vedbak-Vedbak yang ada di kawasan PTPN hingga Stasiun. Dan ada seorang Kyai yang bersorban memimpin pasukan tersebut. Awalnya tidak terjadi keributan karena sebelumnya ada perundingan. Meski, mereka saling berhadapan namun tidak langsung terjadi bentrok. Pihak Belanda meminta para laskar tersebut untuk bubar. Mereka tidak melihat rakyat sebagai seatu ancaman yang berbahaya . Para rakyat yang bersenjata golok, tetap berada di posisinya untuk menyerang. Sementara pasukan Belanda sudah bersiap untuk menembak mereka dari balik pohon bambu yang berada di dataran yang lebih tinggi.


Bagaimana kondisi masyarakat Serpong, ketika itu?

Ketika itu memang masyarakat di daerah Serpong sudah merasa tertekan. Namun sebagian besar dari laskar rakyat yang turun ketika itu merupakan Laskar yang datang dari Banten. Ada beberapa penduduk Desa Kranggan dan Desa Setu yang juga ikut bertempur ketika itu. Dengan modal keberanian dan senjata yang ada, berbagai golongan kelompok dan suku yang ada ketika itu, bersatu menyerang Pos tentara Belanda yang ada di sini.


Siapa saja yang terlibat ketika masa perjuangan Serpong tersebut?

Untuk peristiwa Pahlawan Seribu, titik pertempuran terjadi tepat di kawasan pertigaan Cisauk. TKR belum ada jadi perlawanan yang dilakukan bersifat semangat kedaerahan dan lokal. Pada umumnya laskar atau kelompok perlawanan rakyat yang datang menyerbu Belanda di daerah ini datang dari Banten yang berasal dari daerah Madja, Tejo dan sekitar Rangkas Bitung . Tetapi untuk peristiwa Lengkong yang merupakan perebutan gudang senjata tentara Jepang oleh para taruna Akedemi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot.

Setelah terjadi peristiwa pertempuran Pahlawan Seribu, apa yang Anda terjadi ?

Malamnya, setelah pertempuran yang berlangsung selama satu hari dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam itu, Serpong benar-benar sepi dan sunyi. Warga banyak yang pergi karena ketakutan. Namun, saya dan almarhum Jaro Arsyad mulai mengumpulkan dan mengubur jenazah. Jenazah berjumlah 147. Dan dimakamkan ke dalam tiga liang lahat. Kemudian 3 jenazah dimakamkan terpisah oleh warga.

Setelah keadaan kembali normal, para warga membuat sebuah tugu peringatan yang dibangun secara swadaya. Namun, saya prihatin. Tugu tersebut saat ini kian tertutup diantara para pedagang yang berjajar di pertigaan Cisauk.

Menurut yang Anda ketahui, adakah hal-hal yang dilakukan pemerintah dan masyarakat Serpong untuk mengenang jasa para pahlawan perjuangan tersebut?

Setiap tujuh belasan selalu ada malam renungan. Namun monumen dan tugu yang menjadi bangunan saksi sejarah kurang dipelihara malah dipindahkan. Sebagai, contoh tempat titik pertempuran yang terjadi di pertigaan Cisauk yang sudah ada monumen dan makamnya malah dipindah ke kawasan Taman Tekno BSD. Memang jika hendak menyusuri sejarah perjuangan daerah Serpong tidak mudah karena tidak ada perhatian khusus dari Pemda. Peninggalan sejarah perjuangan nyaris tak berbekas atau malah dipindahkan, kecuali taman makam pahlawan yang hanya dikunjungi setahun sekali tiap Agustus. Sisa-sisa bangunan peninggalan pada zaman kolonial Belanda memang belum dibenahi secara optimal oleh pemerintah.

Bagaimana pandangan Anda sebagai pelaku sejarah terhadap pembangunan yang kian pesat di kawasan Serpong saat ini?

Diperlukan keinginan yang kuat seluruh lapisan masyarakat yang ada, khususnya pemerintah untuk bisa lebih menghargai jasa para pejuang yang sudah rela berkorban demi generasi penerusnya. Keikhlasan mereka dalam berjuang tidak mengharapkan balasan. Keringat dan cucuran darah yang menetes bahkan nyawa demi sebuah perjuangan di Serpong. Apakah wajarkah kita sebagai warga yang mendiami kawasan Serpong ini hanya menumpang dan bersenang tanpa mau tahu perjuangan dan sejarah mereka.

Pembangunan juga perlu, tapi setidaknya menghargai jasa para pahlawan yang amat berjasa ini. Dengan relokasi makam bukannya menjaga dan merawat malah menjauhkan generasi kita dari sejarah.

Menurut Anda apakah yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat Serpong terhadap sejarah perjuangan rakyat?

Sebaiknya, seluruh lapisan masyarakat bisa berperan lebih aktif lagi dalam mengenang dan menghargai jasa para pahlawan. Khususnya yang ada di Serpong tidak hanya sekedar meletakkan karangan bunga atau mengulurkan bantuan ketika memperingati Hari proklamasi atau Hari Pahlawan. Sebaliknya segenap lapisan rakyat perlu memainkan peranan dan kewajiban memastikan kebajikan mereka pejuang mendapat hak yang sewajarnya. Kembangkan pengetahuan sejarah generasi muda terhadap para pahlawan mereka. Jangan hanya melakukan seremoni saja.


Adakah secercah harapan atau keinginan dari Anda yang ingin disampaikan pada masyarakat yang awam terhadap perjuangan rakyat Serpong saat ini?

Saya mengharapkan pembenahan tersendiri, khususnya untuk sisa-sisa bangunan sejarah perjuangan Serpong dan peninggalan zaman kolonial Belanda. Bangunan sejarah jangan dipindah-pindah. Bangunan sebenarnya tidak dirawat. Untuk kawasan pertigaan Cisauk harus ditata ulang kembali dengan tidak menghilangkan sejarah aslinya sebagai titik pertempuran Pahlawan Seribu.
Sumber: www.serpongkita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar