Selasa, 16 Juli 2013

Mencari Sosok Pahlawan Pekalongan
MENYEBUT nama KH Abdul Gaffar Ismail secara spontan pasti menyebut nama Kota Pekalongan. Meski lahir di Padang, 11 Agustus 1911, dia telah mengabdikan hidupnya selama setengah abad untuk membina umat di Pekalongan.

Oktober 1935, Gaffar masuk Pekalongan naik kereta api SS (Staats Spoorwagen) dari Batavia  (Jakarta) setelah pelayaran dari Teluk Bayur Padang dengan kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maattschappij).

Aktivis partai Persatuan Muslim Indonesia (Permi) Sumatra Barat  tersebut harus menjalani masa pembuangan di kota pesisir Pekalongan. Kedatangannya diterima dengan baik oleh tokoh muslim Pekalongan, tentu dalam pengawasan intel kolonial Politiek Inlichtingche Dienst (PID).

Awalnya dia hendak dijadikan qodhi di Masjid Besar Pekalongan, artinya jadi pegawai dan digaji pemerintah, namun ia lebih memilih berdakwah dengan menggelar pengajian rutin di kediamannya, Jalan Kedjaksaan 52. Kini jalan itu berganti nama menjadi Jalan Bandung, dan rumah tokoh tersebut berganti menjadi nomor 60.

Masyarakat muslim Pekalongan yang mandiri dan kuat secara ekonomi sebagai produsen dan pedagang kain batik dan tenun memberikan perlindungan dan dukungan penuh sehingga pengajian tokoh itu selalu dipenuhi peserta.
Pengajian ini berlangsung 6 tahun sejak 1935 sampai 1941.

Tahun 1961, ia diminta mendirikan Pesantren Pertanian di Ciampea Bogor atas sokongan M Natsir, lalu pindah ke Solo dan Semarang pada zaman pendudukan Jepang, kemudian pada awal revolusi 1946-1948 pindah ke Yogyakarta. Dia juga tinggal di Singapura (1948) serta di Bukittinggi (1948-1951) dan di Jakarta (1951-1952).

Setelah 12 tahun meninggalkan Pekalongan, masyarakat Kota Batik diwakili H Ahmad Djunaid  membujuk dia agar bersedia kembali membina umat di Pekalongan.

Tahun 1953 Gaffar yang bertekad mati di atas mimbar kembali memimpin pengajian di Pekalongan sampai wafatnya tahun 1998 dan dimakamkan di Sapuro Pekalongan.
Pengajian tokoh yang mengajarkan tafsir Alquran dan tasawuf itu cukup fenomenal, orang memadati rumahnya tiap malam Selasa sesudah isya pukul 19.00 hingga pukul 02.00. Peserta pengajian sampai melimpah menutup perempatan Sorogenen hingga lapangan. Dialek urang awak-nya pasti diingat oleh orang Pekalongan yang berusia di atas 30 tahun.

Selain dia, beberapa tokoh hebat di Pekalongan bisa dijadikan teladan dan layak disebut Pahlawan Pekalongan.

Ada tokoh koperasi H Ahmad Djunaid,  tokoh pendidikan Abdullah Hinduan, tokoh perbatikan H Abdul Kadir (Ridaka), tokoh agama Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas, polisi teladan Hoegeng Iman Santoso, juga Tan Kwee Jan, tokoh yang namanya selalu diucapkan saat orang bercerita sejarah berdirinya Pekalongan.
Sudah Melekat
Mengenang jasa mereka adalah menghargai sekaligus mempelajari sikap hidup, perjuangan dan amal usaha mereka.

Tapi bagaimana caranya bila naskah atau dokumen tentang mereka sangat minim dan sulit didapatkan? Adakah orang yang serta merta bertanya, meneliti lalu membuat tulisan sebagai arsip tentang keberadaan tokoh-tokoh tersebut?
Selain monumen-monumen yang berhubungan dengan tokoh-tokoh tersebut sangat langka, naskah (literacy) yang terkait dengan mereka pun sulit didapatkan. Kalau pun ada hanya diabadikan oleh keluarga mereka dalam bentuk nama masjid atau yayasan.

 Saya terharu mendapati jalan yang membentang didepan rumah saya di Sleman, Yogyakarta, berubah nama dari Jalan Palagan Redjodani menjadi Jalan Gito Gati.
Saya bertanya pada tetangga yang asli daerah tersebut, dari situlah saya mengetahui siapa Gito Gati yang tak lain adalah dalang kembar bernama Ki Soegito dan Ki Soegati yang dalam kiprahnya senantiasa mengharumkan nama daerah Sleman.
Tidak banyak literatur yang menyebut nama Gito Gati, tapi sejak nama itu digunakan sebagai nama jalan, banyak yang kemudian memperbincangkan lalu menulis sejarah Gito Gati.

Menghargai kerja dan karya tokoh-tokoh Pekalongan tersebut tidak serta merta memberikan gelar pahlawan untuk mereka, karena sejatinya kepahlawanan mereka sudah melekat dalam hati masyarakat. Tidak berlebihan jika terbesit keinginan untuk sekadar mengabadikan nama-nama mereka menjadi nama jalan di Kota Pekalongan, karena dengan demikian kita akan mengingat dan merangsang orang untuk mengetahui dan belajar apa yang sudah dilakukan mereka. (10)

— Ibnu Novel Hafidz, praktisi komunikasi pemasaran, warga Pekalongan kini tinggal di Yogyakarta

Sumber: http://suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar