Kamis, 23 Januari 2014

Gandamana dan Pandudewanata
oleh aljoez
Semenjak resmi menjadi Guru Istana Hastinapura, nama Pandita Durna terangkat dan tersebar karenanya. Bahkan namanya tersebar juga di negara-negara tetangga Hastinapura. Tokoh-tokoh penting dari penjuru negara, berguru kepadanya. Kecuali dari Negara Pancalaradya, hal tersebut dikarenakan adanya hubungan yang tidak baik antara Rajanya Drupada yang nama kecilnya Sucitra dengan Durna atau Kumbayana saudaranya, perseteruan dan dendam antara Prabu Drupada dan Pandita Durna tetap ada padahal mereka adalah orang-orang mulai yaitu seorang Raja dan Resi.
Gandamana sang penyiksa Durna pada saat itu mulai menyadari dan melihat kesalahan yang telah dibuatnya bertahun-tahun yang lalu. Kini dia merenung lagi kepada peristiwa itu …
Awalnya, menyusul peristiwa penganiayaan Kumbayana oleh Gandamana, Prabu Drupada tidak tega melihat luka yang diderita Kumbayana, maka ia membiarkannya tinggal di tapal batas wilayah Pancalaradya yang bernama Sokalima.


Namun pada saat dia mendengar Sokalima menjadi besar dan kuat. Prabu Drupada khawatir bahwa Kumbayana akan memanfaatkan kekuatan Sokalima untuk melampiaskan dendam kepadanya.
Memang benar, dendam di hati Pandita Durna senantiasa masih menyala dalam sekam hatinya. Jika tiba saatnya ia akan membuka sekam itu, supaya nyalanya menjadi besar dan membakar sasaran dendamnya yaitu Prabu Durpada dan Gandamana.
Dendam mengandung daya penghancur yang luar biasa. Si penyimpan dendam tidak akan pernah bisa merasakan bagaimana cara kerja dendam dalam penghancuran hidup dan kehidupan. Seperti dendam yang tumbuh atau lebih tepatnya ditumbuhkan dan dipelihara di hati Durna.
Sebagai Maha Guru ia memang sibuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para murid-muridnya, tetapi tujuan utamanya bukan untuk kemajuan para muridnya, melainkan untuk rencana pelampiasan dendamnya kepada Prabu Durpada dan Patih Gandamana. Sungguh luar biasa, dendam tidak akan pernah berhenti sebelum ‘tuan’nya hancur.
Dikarenakan yang menjadi tujuan utama pengajaran di Sokalima adalah pembalasan sakit hati, maka pesan Resi Bisma kepada Durna agar tidak lupa menanamkan rasa saling mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi ampun kepada Kurawa dan Pandhawa menjadi tidak tersampaikan dengan benar.
Dendam itu pulalah yang telah menyeret Pandita Durna untuk memperlakukan murid-muridnya dengan tidak sama, serba pilih-kasih. Murid yang satu diemban dengan kain cindhe sedangkan murid yang lain diemban dengan siladan (kulit bambu). Diantara ratusan muridnya, Bimasena dan Harjuna mendapat perlakuan istimewa bahkan melebihi Aswatama anaknya sendiri.
Karena mereka berdua yang memang sebelumnya gemar berguru kepada orang-orang sakti, mempunyai kemampuan di atas rata-rata, bahkan kesaktiannya jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Melalui Bimasena dan Harjuna inilah, Durna berharap dendamnya kepada Prabu Drupada dan Gandamana dapat dilampiaskan.
“Salahkan aku, sebagai guru menaruh perhatian istimewa kepada murid-murid yang pintar? Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti, dan menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah patuh dan pintar seperti mereka.”
Bima dan Arjuna terkadang merasa dadanya kembang kempis, sementara disisi lain ratusan Kurawa semakin membenci mereka.
Demikianlah Durna selalu membela diri, mencari alasan untuk membenarkan tindakannya. Tanpa pernah mengakui bahwa itu semua adalah buah karya dari dendamnya yang tetap hidup di sekam.
Walaupun tenaga Durna yang memang tidak sempurna lagi, namun ilmunya itu telah ditumpahkan kepada murid-muridnya, tidaklah mudah membentuk orang-orang sakti dalam waktu singkat. Beberapa tahun berlalu, semenjak Durna mengangkat murid Pandhawa dan Kurawa, namun Durna merasa belum ada satupun muridnya yang kemampuannya berada diatas kemampuan Gandamana, musuh dalam hatinya, termasuk juga Bimasena dan Harjuna, murid andalannya.
Pada suatu pagi, sebelum matahari terasa panas sinarnya. Durna berdiri diatas panggungan, dengan matanya yang tajam, ia mengamati sepasang demi sepasang muridnya di arena latih tanding.
Ketika tiba gilirannya pasangan Bimasena dan pasangan Harjuna menunjukkan kemampuannya, ia tersenyum puas melihat ilmu kedua murid kesayangan tersebut maju dengan pesat. Namun apakah kemampuan mereka cukup memadai untuk menandingi Gandamana? Siang-malam Durna senantiasa berharap agar saat pembalasan segera tiba. Ia ingin melunasi janjinya kepada Aswatama, sewaktu anaknya menangis melihat luka-luka yang dideritanya. “Jangan menangis Aswatama bocah bagus, bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan di depanmu pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana….. hrrrmh”
◘◘◘
Di Keraton Cempalaradya pada suatu malam, Gandamana sang patih tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Waktu telah tepat menunjukkan pukul dua dinihari. Jatungnya masih berdetak keras. Mimpi yang baru saja datang dalam tidurnya, membuat hatinya bergetar. Dalam mimpi tersebut ia didatangi Prabu Pandudewanata, rajanya yang dahulu.
“Patih Gandamana, apakah engkau masih setia padaku?”
“Adhuh Sinuwun Prabu, aku selalu setia kepada Hastinapura dan Prabu Pandudewanata sampai akhir hayatku.”
“Terimakasih Gandamana, aku menginginkan bukti dari apa yang engkau katakan.” Prabu Pandu mengutarakan sesuatu.
“Sinuwun Prabu, apakah yang Paduka kehendaki atas diriku ini?”
“Bersiaplah mengikuti aku ke medan perang!”
“Baiklah Sinuwun, di mana dan berapa pasukan mesti hamba persiapan?”
“Aku tidak memerlukan pasukan kerajaan. Cukup engkau seorang.” Prabu Pandudewanata tersenyum, sebentar kemudian hilang dari pandangan.
Aku tiba-tiba sudah berada di medan pertempuran yang sengit. Mereka saling membunuh dengan ganas. Jantungku berdegup keras, selama menjadi Patih Hastinapura baru kali ini aku melihat pertempuran yang lebih dahsyat dari ‘Perang Pamukswa’ perang antara Hastinapura dan Pringgandani.
Aku menebarkan pandangan ke delapan penjuru mata angin, dan dengan jelas melihat bahwa pertempuran tersebut melibatkan empat raja. Yang membedakan antara raja yang satu dengan raja yang lainnya adalah warna pakaiannya, termasuk bala tentaranya.
Raja yang berpakaian serba Merah, bala tentaranya berpakaian serba merah. Raja yang berpakaian Hitam, bala tentaranya juga berpakaian serba Hitam. Demikian juga raja yang berpakaian Kuning dan Putih. Diantara raja-raja tersebut, aku tidak melihat Prabu Pandudewanata junjunganku. Dimanakah beliau berada? Bukankah beliau yang mengajakku ke medan perang?
Sebelum pertanyaanku terjawab, tiba-tiba ke empat raja beserta pengikutnya menyerang aku. Puluhan ribu senjata diacung-acungkan kepadaku. Sungguh mengerikan sekujur tubuhku bergetar. Sebentar lagi badanku akan lumat dicincang mereka. Namun aku tidak bisa meninggalkan medan perang. Aku bukan pengecut. Apa lagi aku telah berjanji kepada Prabu Pandudewanata untuk ikut ke medan perang, bertempur sampai titik darah penghabisan.
Maka aku songsong mereka dengan muka tegak dan dada terbuka. Dhuaarr! Benturan dahsyat terjadi, aku terbangun.
Sementara kidung malam masih menyisakan suaranya, pikiran Gandamana menerawang jauh di masa lampau, ketika ia masih menjadi Maha Patih Hastinapura. Kenangan bersama Prabu Pandudewanata sungguh membangkitkan kerinduan. Rindu masa-masa kejayaan, rindu kepada Raja yang ia cintai dan hormati.
Namun kini semua tinggal kenangan, Prabu Pandu Dewanata telah memasuki alam keabadian. Namun ia masih berkenan mengunjungi aku. “Apakah Sang prabu juga rindu kepadaku? Aku sangat bahagia karenanya, Sang Prabu meninggalkan senyum abadi kepadaku. Meskipun hanya di dalam mimpi

Sumber: http://kisahjiwa.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar