Gandamana dan Pandudewanata
oleh aljoez
Semenjak resmi menjadi Guru Istana Hastinapura, nama Pandita Durna
terangkat dan tersebar karenanya. Bahkan namanya tersebar juga di negara-negara
tetangga Hastinapura. Tokoh-tokoh penting dari penjuru negara, berguru
kepadanya. Kecuali dari Negara Pancalaradya, hal tersebut dikarenakan adanya
hubungan yang tidak baik antara Rajanya Drupada yang nama kecilnya Sucitra
dengan Durna atau Kumbayana saudaranya, perseteruan dan dendam antara Prabu
Drupada dan Pandita Durna tetap ada padahal mereka adalah orang-orang mulai
yaitu seorang Raja dan Resi.
Gandamana
sang penyiksa Durna pada saat itu mulai menyadari dan melihat kesalahan yang
telah dibuatnya bertahun-tahun yang lalu. Kini dia merenung lagi kepada
peristiwa itu …
Awalnya,
menyusul peristiwa penganiayaan Kumbayana oleh Gandamana, Prabu Drupada tidak
tega melihat luka yang diderita Kumbayana, maka ia membiarkannya tinggal di
tapal batas wilayah Pancalaradya yang bernama Sokalima.
Namun
pada saat dia mendengar Sokalima menjadi besar dan kuat. Prabu Drupada khawatir
bahwa Kumbayana akan memanfaatkan kekuatan Sokalima untuk melampiaskan dendam
kepadanya.
Memang
benar, dendam di hati Pandita Durna senantiasa masih menyala dalam sekam
hatinya. Jika tiba saatnya ia akan membuka sekam itu, supaya nyalanya menjadi
besar dan membakar sasaran dendamnya yaitu Prabu Durpada dan Gandamana.
Dendam
mengandung daya penghancur yang luar biasa. Si penyimpan dendam tidak akan
pernah bisa merasakan bagaimana cara kerja dendam dalam penghancuran hidup dan
kehidupan. Seperti dendam yang tumbuh atau lebih tepatnya ditumbuhkan dan
dipelihara di hati Durna.
Sebagai
Maha Guru ia memang sibuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para murid-muridnya,
tetapi tujuan utamanya bukan untuk kemajuan para muridnya, melainkan untuk
rencana pelampiasan dendamnya kepada Prabu Durpada dan Patih Gandamana. Sungguh
luar biasa, dendam tidak akan pernah berhenti sebelum ‘tuan’nya hancur.
Dikarenakan
yang menjadi tujuan utama pengajaran di Sokalima adalah pembalasan sakit hati,
maka pesan Resi Bisma kepada Durna agar tidak lupa menanamkan rasa saling
mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi ampun kepada Kurawa dan
Pandhawa menjadi tidak tersampaikan dengan benar.
Dendam
itu pulalah yang telah menyeret Pandita Durna untuk memperlakukan
murid-muridnya dengan tidak sama, serba pilih-kasih. Murid yang satu diemban
dengan kain cindhe sedangkan murid yang lain diemban dengan siladan (kulit
bambu). Diantara ratusan muridnya, Bimasena dan Harjuna mendapat perlakuan
istimewa bahkan melebihi Aswatama anaknya sendiri.
Karena
mereka berdua yang memang sebelumnya gemar berguru kepada orang-orang sakti,
mempunyai kemampuan di atas rata-rata, bahkan kesaktiannya jauh meninggalkan
murid-murid yang lain. Melalui Bimasena dan Harjuna inilah, Durna berharap
dendamnya kepada Prabu Drupada dan Gandamana dapat dilampiaskan.
“Salahkan
aku, sebagai guru menaruh perhatian istimewa kepada murid-murid yang pintar?
Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti,
dan menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan
rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah
patuh dan pintar seperti mereka.”
Bima
dan Arjuna terkadang merasa dadanya kembang kempis, sementara disisi lain
ratusan Kurawa semakin membenci mereka.
Demikianlah
Durna selalu membela diri, mencari alasan untuk membenarkan tindakannya. Tanpa
pernah mengakui bahwa itu semua adalah buah karya dari dendamnya yang tetap
hidup di sekam.
Walaupun
tenaga Durna yang memang tidak sempurna lagi, namun ilmunya itu telah
ditumpahkan kepada murid-muridnya, tidaklah mudah membentuk orang-orang sakti
dalam waktu singkat. Beberapa tahun berlalu, semenjak Durna mengangkat murid
Pandhawa dan Kurawa, namun Durna merasa belum ada satupun muridnya yang kemampuannya
berada diatas kemampuan Gandamana, musuh dalam hatinya, termasuk juga Bimasena
dan Harjuna, murid andalannya.
Pada
suatu pagi, sebelum matahari terasa panas sinarnya. Durna berdiri diatas
panggungan, dengan matanya yang tajam, ia mengamati sepasang demi sepasang
muridnya di arena latih tanding.
Ketika
tiba gilirannya pasangan Bimasena dan pasangan Harjuna menunjukkan
kemampuannya, ia tersenyum puas melihat ilmu kedua murid kesayangan tersebut
maju dengan pesat. Namun apakah kemampuan mereka cukup memadai untuk menandingi
Gandamana? Siang-malam Durna senantiasa berharap agar saat pembalasan segera
tiba. Ia ingin melunasi janjinya kepada Aswatama, sewaktu anaknya menangis
melihat luka-luka yang dideritanya. “Jangan menangis Aswatama bocah bagus,
bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan di depanmu pembalasanku
kepada Sucitra dan Gandamana….. hrrrmh”
◘◘◘
Di
Keraton Cempalaradya pada suatu malam, Gandamana sang patih tiba-tiba terbangun
dari tidurnya. Waktu telah tepat menunjukkan pukul dua dinihari. Jatungnya
masih berdetak keras. Mimpi yang baru saja datang dalam tidurnya, membuat
hatinya bergetar. Dalam mimpi tersebut ia didatangi Prabu Pandudewanata,
rajanya yang dahulu.
“Patih
Gandamana, apakah engkau masih setia padaku?”
“Adhuh
Sinuwun Prabu, aku selalu setia kepada Hastinapura dan Prabu Pandudewanata
sampai akhir hayatku.”
“Terimakasih
Gandamana, aku menginginkan bukti dari apa yang engkau katakan.” Prabu Pandu
mengutarakan sesuatu.
“Sinuwun
Prabu, apakah yang Paduka kehendaki atas diriku ini?”
“Bersiaplah
mengikuti aku ke medan perang!”
“Baiklah
Sinuwun, di mana dan berapa pasukan mesti hamba persiapan?”
“Aku
tidak memerlukan pasukan kerajaan. Cukup engkau seorang.” Prabu Pandudewanata
tersenyum, sebentar kemudian hilang dari pandangan.
Aku
tiba-tiba sudah berada di medan pertempuran yang sengit. Mereka saling membunuh
dengan ganas. Jantungku berdegup keras, selama menjadi Patih Hastinapura baru
kali ini aku melihat pertempuran yang lebih dahsyat dari ‘Perang Pamukswa’ perang
antara Hastinapura dan Pringgandani.
Aku
menebarkan pandangan ke delapan penjuru mata angin, dan dengan jelas melihat
bahwa pertempuran tersebut melibatkan empat raja. Yang membedakan antara raja
yang satu dengan raja yang lainnya adalah warna pakaiannya, termasuk bala
tentaranya.
Raja
yang berpakaian serba Merah, bala tentaranya berpakaian serba merah. Raja yang
berpakaian Hitam, bala tentaranya juga berpakaian serba Hitam. Demikian juga
raja yang berpakaian Kuning dan Putih. Diantara raja-raja tersebut, aku tidak
melihat Prabu Pandudewanata junjunganku. Dimanakah beliau berada? Bukankah
beliau yang mengajakku ke medan perang?
Sebelum
pertanyaanku terjawab, tiba-tiba ke empat raja beserta pengikutnya menyerang
aku. Puluhan ribu senjata diacung-acungkan kepadaku. Sungguh mengerikan sekujur
tubuhku bergetar. Sebentar lagi badanku akan lumat dicincang mereka. Namun aku
tidak bisa meninggalkan medan perang. Aku bukan pengecut. Apa lagi aku telah
berjanji kepada Prabu Pandudewanata untuk ikut ke medan perang, bertempur
sampai titik darah penghabisan.
Maka
aku songsong mereka dengan muka tegak dan dada terbuka. Dhuaarr! Benturan
dahsyat terjadi, aku terbangun.
…
Sementara
kidung malam masih menyisakan suaranya, pikiran Gandamana menerawang jauh di
masa lampau, ketika ia masih menjadi Maha Patih Hastinapura. Kenangan bersama
Prabu Pandudewanata sungguh membangkitkan kerinduan. Rindu masa-masa kejayaan,
rindu kepada Raja yang ia cintai dan hormati.
Namun kini semua tinggal kenangan, Prabu Pandu Dewanata telah
memasuki alam keabadian. Namun ia masih berkenan mengunjungi aku. “Apakah Sang
prabu juga rindu kepadaku? Aku sangat bahagia karenanya, Sang Prabu
meninggalkan senyum abadi kepadaku. Meskipun hanya di dalam mimpi
Sumber:
http://kisahjiwa.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar