50 TAHUN NASIRUN
Nasirun Santri Ucul?
Nasirun,
pelukis hebat kelahiran Cilacap, mengaku bahwa dirinya adalah ‘santri ucul’.
Ucul, bahasa Jawa, artinya lepas. Santri ucul adalah ungkapan untuk santri yang
tidak sabar duduk mengaji, tidak betah mojok di pesantren atau iktikaf masjid.
Santri model begitu, jika diminta datang ke rumah kiai, malah lari. Disuruh
sarungan saja enggan, malah sarungnya dilempar di atas genteng, dan diganti
dengan celana rombeng.
‘Santri mursal’
adalah istilah lain dari santri ucul. Istilah ini agak ‘ilmiah’, karena diambil
dari bahasa Arab. Mursal berarti lepas atau dilepaskan, ucul. Mursal diadopsi
dari istilah ilmu hadits, yakni hadits yang perawi setelah tabi’in, shohabat,
terlepas. Hadits tersebut termmasuk jenis hadits dlo’if, lemah, dan
oleh karenanya ditolak.
Nasirun
punya dalil untuk menguatkan pengakuan keuculan atau kemursalan santri yang ada
pada dirinya.
”Aku ini
tidak bisa kirim Fatihah pada Kanjeng Nabi dengan ila hadlroti. Kan tidak
pantes kalau ngaku santri. Ya mungkin santri, tapi santri ucul,” begitu kata
Nasirun pada saya, sambil terkekeh-kekeh, entah menertawakan apa atau siapa. Tertawa
lepas tanpa alasan yang kuat, merupakah ciri khasnya. Dia memang seperti orang
yang mabuk tertawa. Bicara satu menit, Nasirun bisa tertawa terbahak-bahak lima
kali. Jadi jika ngobrol dengan dia satu jam, kalikan saja berapa kali dia
tertawa.
Meski santri
ucul, kata Nasirun, saya tetap tawasul, ya tawasul sebisanya, yang gampang.
Setelah mengatakan itu, airmuka Nasirun mendadak tanpa ekspresi, bola matanya
diam sejenak. Saya menunggu apa yang akan dikatakan dia selanjutnya.
“Aku bisa
tawasulan dengan membasuh borok anak jalanan yang tidak diperhatikan orang.
Kalau tidak nemu anak yang begitu, aku mandiin orang gila yang berbulan-bulan
tidak mandi, lalu dikasih baju baru.” Nasirun mengatakan itu dengan dahi
mengkerut dan tatapan tajam, namun dialek Cilacapannya sama sekali tidak
hilang. Mendengar cara Nasirun tawasulan, seketika bulu kuduk saya berdiri.
Perasaan
saya bercampur aduk, antara ngeri dan takjub. Tapi sejurus kemudian Nasirun
kembali tertawa terbahak-bahak hingga bahunya terguncang, sederet gigi bagian
depan terlihat, lalu mengibas-ngibaskan rambut panjangnya yang kriting. Saya
pun kembali santai, rasa ngeri hilang, tinggal takjubku. Nasirun mengaku
bahwa semua itu bisa dijalankan dengan mudah dan santai, lebih susah daripada
membaca surat al-Fatihah yang didahului dengan ila hadlroti. Saya katakan
padanya, bahwa tawasulan model membasuh borok itu amat susah dilakukan, bahkan
oleh ulama atau kiai, apalagi ulama yang tidak pernah keluar dari pesantrennya.
Amalan model Sampeyan, Kang, kata saya, itu setingkat Nabis Isa. Hanya Nabi Isa
yang tulus menyentuh orang borokan, cuma beliau yang mendekati orang gila
dengan senang. Mendengar komentar saya, Nasirun cuma
tertawa...hahahah...hahaha...
Saya
mengerti, pengakuan ketidakbisaan Nasirun bertawasul seperti santri pada
umumnya, adalah kembang obrolan saja. Yang terjadi sesungguhnya, dia sedang
menyembunyikan kefasihannya sebagai santri. Bagaimana mungkin dia tidak bisa
mengaji, tidak bias baca al-Fatihah, wong goresan-goresan kaligrafinya begitu
taat kaidah, khot Naskhi-nya, salah satu gaya kaligrafi, begitu luwes dan kuat.
Pilihan-pilihan kalimat dalam kaligrafinya juga menunjukkan bahwa dia santri
yang mengerti dan sarat permenungan. Saat menggelar pameran tunggal untuk
memperingati seribu hari ibundanya –pamerannya berjudul ‘Salam Bekti’, 2009,
Nasirun menunjukkan kebolehannya memilih beberapa ‘kalam Arab’. Dan jangan
lupa, Nasirun pernah menjuarai lomba kaligrafi tingkat Kabupaten Cilacap. Dan
jangan lupa juga, bapaknya Nasirun itu bukan saja seorang pengamal tarekat
Naqsabandiyah, tapi juga punya maqom yang tinggi, badal mursyid, pengganti atau
wakil mursyid. Wal hasil, mustahil dia tidak bisa ila hadlroti.
Saya kira,
hendak disembunyikan seperti apapun, Nasirun susah melepas kesantriannya.
Atribut kesantriannya melekat erat, begitu gamblang terlihat. Di belakang
rumahnya misalnya, ada mushola kayu dari madura, di langit-langit rumahnya ada
al-asmaul husna yang diguratkan pada fiber berbentuk buah kelapa, menggantung
dengan indah, beberapa lukisan karyanya yang dilengkapi kaligrafi tertata rapi
di dindin rumah.
Kesantrian
Nasirun juga tampak pada caranya berpakaian. Kopyah hitam biasa nangkring di
atas kepalanya, juga sarung sering dikenakan, seperti santri pada umumnya.
Busana tersebut banyak dijadikan obyek lukisan potret diri, menjadi
‘identitas’. Bicaranya pun sarat idiom-idiom santri, meski setengah-setengah.
Di antara idiom santri yang sering dikemukakan dan orisinil hasil dari
permenungannya adalah “Zakat Budaya”. Zakat Budaya tidak ada dalam fiqih, tapi
zakat itu sendiri adalah hal yang sentral dalam Islam, ia salah satu dari lima
rukun Islam.
Dalam
peringatan hari lahir Nasirun yang ke-50 yang baru saja dilaksanakan di Bentara
Budaya Yogyakarta, 1 Oktober, saya kira juga dirancang menjadi momentum
mengabarkan atau malah meneguhkan kesantriannya. Kata tabligh yang menjadi
sentral “dekorasi”, Nasirun yang berkopyah, shalawat badar yang dikumandangkan,
pajangan sembilan bedug dan kentongan, deretan santri “kelas wahid” yang member
taushiyah pada malam itu, ada Wakil Rais Am PBNU KH A. Musthofa Bisri, Gus
Yusuf dari pesantren Tegalrejo Magelang, dan dihadirkannya ‘imajinasi visual’
Wali Sanga adalah “demosntrasi” kesantrian seorang Nasirun. Teman saya, Hairus
Salim, di lini masa bilang tentang pembukaan pameran bertajuk Rubuh-rubuh
Gedhan itu, “Pembukaan pameran atau pengajian ya ini? Ada shalawat
Badar.”
Meski
demikian, Nasirun memang sedang memerankan dirinya atau menampilkan, apa yang
teman-teman saya di LKiS dulu, disebut sebagai Islam enteng-entengan, Islam
yang ringan dan santai, Islam yang menerima Jawa, Aceh, Bugis, Lombok, dan
lain-lain. Islam enteng-entengan ini susah dijelaskan. Tapi kira-kira Islam
seperti yang digagas dan dilakukan oleh Gus Dur, Islam yang kadang-kadang tidak
selalu merujuk pada sumber-seumber utama, malah cukup dengan jawaban begini,
“Gitu saja kok repot!”
Nasirun
mengejawantahkan Islam enteng-entengan dengan tak mudah berucap dengan dalil
naqli, merasa cukup ‘berdalil’ dengan canda tawa. Misalnya dia bercerita bahwa
musola kecil di belakang rumah itu punya fungsi yang besar. Namun, fungsi
musola itu bukan untuk sembayang jama’ah keluarganya atau tetamunya yang dating
silih berganti, ataupun untuk qiyamul lail agar khusuk. Lalu untuk apa?
Dia bilang,
“Aku kasih musola di belakang rumah agar anak-anakku bisa membedakan mana
kulkas dan mana musola.” Jawaban Nasirun mengejutkan, di luar nalar keseharian
kita, dan mengundang tawa, tanpa ada pretensi nilai-nilai yang dibawa.
Bagi
Nasirun, Islam itu srawung dengan siapa saja, tanpa menelisik perbedaan
keimanan atau status sosial. Islam, bagi Nasirun, tidak membedakan pameran
lukisan dengan pengajian. Islam itu nyeni, bahkan boleh melukis orang, dan
makhluk hidup lainnya, termasuk menggambar babi. Perlu disampaikan di sini,
mayoritas ulama menjauhi lukisan, mengharamkan profesi pelukis.
Kata Allah,
“Dan siapakah yang lebih zdalim daripada orang yang menciptakan seperti
ciptaanku?” Di akhirat kelak, pelukis akan dimintai pertanggungjawaban, ”Ahyu
maa kholaqtum, hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” Dalam hadits Nabi
banyak riwayat yang mengatakan larangan menggambar makhluk hidup dan larangan
profesi pelukis, ”Inna asyaddan nasi ‘adzaban ‘indallahi yaumal qiyamati
al-mushowwiruun, sesungguhnya adzab yang paling keras di sisi Allah ketika
kiamat adalah para pelukis.” Teks-teks itu menjadi dalil pengharaman
profesi yang kini digeluti Nasirun. Lalu bagaimana ini nasib Nasirun?
Nasirun
tidak akan repot-repot mencari dalil naqli tandingan untuk membenarkan
posisinya. Mungkin dia akan cukup berkata, ”Aku cuma ikut-ikut Gus Mus kok?
Beliau kan pelukis juga? Kalau nanti masuk neraka ya tidak masalah, kan ada
Wakil Rais Am PBNU? Ya, maksimal Nasirun akan membela diri begini, “Apa
salahnya nggambar babi? Babi kan makhluk Gusti Allah juga? Sing penting kan
niate apik?”
Tapi, jika
seandainya Malaikat penjaga neraka betul-betul menyuruh Nasirun nyemplung
neraka, pasti Nasirun akan protes keras, ”Sebagian Duit hasil melukis saya
sumbangkan sekolah, orang-orang fakir, guru ngaji di Cilacap. Masukkan juga
dong guru ngaji tetanggaku ke neraka. Aku juga ikut urun harlah NU Jogja,
masukkan orang seluruh pengurus NU Jogja ke nereka. Ayok berani mboten, Pak
Malaikat?” Dan pasti, dia akan mengatakan semua itu dengan tertawa.
Keagamaan
dan kesantrian Nasirun dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan rendah
hati. Dia tawadlu betul seperti imam-imam mushola di desa-desa. Bila perlu,
Nasirun mungkin akan menyembunyikan amal salehnya. Dan bila diperlukan lagi,
dia akan menampakkan segala kemaksiatannya sebagai manusia, seperti yang pernah
diujarkan Robi’ah, “Zayyin nafsakan bil ma’shiyah, wa la tuzayyin nafsaka bil
‘ibadah, hiasailah dirimu dengan maksiat, dan janganlah hiasa dirimu dengan
ibadah.”
Bagi
kita-kita yang gila pengakuan keagamaan, bagi kita-kita yang sibuk menjadikan
agama sebagai gaya hidup, bagi kita-kita yang menutup mata terhadap jalan agama
yang bermacam-macam, Nasirun dengan segenap goresan kuasnya, dengan segenap
perilaku kesehariannya, adalah cermin yang pas, untuk kita semua.
Sesungguhnya,
Nasirun bukanlah santri ucul seperti yang dia katakan, kecuali bagi kita yang
gampang terkecoh penampilan lahir. Atau, jika dia memang ucul, pada acara ulang
tahunnya yang ke-50 itu, Nasirun telah pulang, kembali menjadi santri, manjing ruang
pameran dengan niat yang sama seperti manjing musola. Ini
seperti dawuh kiai-kiai yang bijak, “Seucul-ucelnya santri, dia akan kembali.
Begitu juga dengan Nasirun. (Hamzah Sahal)
Sumber: http://www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar